Peradaban Awal Nusantara sampai Era Klasik

Literasi

Selamat datang di laman Edutainment tema pembahasan Peradaban Awal Nusantara sampai Era Klasik. 

Sumber yang digunakan merupakan buku siswa kelas X kurikulum K.13 Edisi Eevisi 2017 dan Kurikulum Merdeka. Kontennya dirancang agar mudah dimengerti, menampilkan penjelasan yang disederhanakan  untuk membantu pembaca. Selain itu, situs web ini juga menyertakan video penjelasan yang memberikan wawasan lebih lanjut tentang sejarah Indonesia pada masa Hindu-Buddha Klasik.

Buku ini berisi rangkaian materi ajar sejarah kelas 10. Tema pembahasan dalam buku ini mencakup; menelusuri peradaban awal di kepulauan Indonesia; pedagang, penguasa dan pujangga pada masa klasik; Islamisasi dan silang budaya di Nusantara. Sajian materi dalam buku ini disajikan secara sistematis sesuai periode sejarah yang disajikan.

MATA pelajaran “Sejarah” dalam buku ini mengkaji manusia dalam ruang dan waktu terutama konteks Indonesia. Selaras dengan ujung dari tujuan Capaian Pembelajaran (CP) Sejarah bahwa pembelajaran sejarah yang berorientasi pada keterampilan berpikir secara alamiah akan mendorong pembentukan manusia merdeka yang memiliki kesadaran sejarah dan selaras dengan Profil Pelajar Pancasila. Pembelajaran yang disajikan bertujuan untuk melatih peserta didik memahami karakter ilmu sejarah sekaligus membangun pola pikir dan kecakapan sejarah, utamanya sejarah Indonesia. Buku ini merupakan bagian dari buku teks IPS kelas X SMA, tetapi terdapat beberapa modifikasi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik SMK.

Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Asal-usul nenek moyang bangsa Indonesia merupakan topik penting dalam memahami identitas kebangsaan. Berdasarkan kajian arkeologi, antropologi, dan linguistik, nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari dua gelombang migrasi besar, yaitu Proto Melayu dan Deutero Melayu. Proto Melayu (Melayu Tua) datang sekitar 2000 SM melalui jalur barat (Semenanjung Malaya) dan jalur timur (Filipina), membawa budaya neolitikum seperti perladangan berpindah dan alat-alat dari batu. Mereka diperkirakan sebagai leluhur suku-suku seperti Dayak dan Batak. Gelombang kedua, Deutero Melayu (Melayu Muda), datang sekitar 500 SM dengan kebudayaan yang lebih maju, termasuk pertanian menetap, logam, dan organisasi sosial yang lebih kompleks. Mereka adalah nenek moyang dari sebagian besar penduduk Indonesia sekarang, seperti Jawa, Minang, dan Bugis. Proses pembauran antara kelompok-kelompok ini membentuk keragaman budaya dan etnis yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia hingga kini. Selain itu, migrasi ini dipengaruhi oleh perubahan iklim dan geografi yang memungkinkan jalur laut sebagai sarana mobilitas manusia purba dari daratan Asia menuju kepulauan Nusantara.

Pertanyaan mengenai siapa pribumi asli Indonesia merupakan kajian sejarah yang kompleks dan melibatkan bukti-bukti arkeologis, antropologis, serta linguistik. Secara ilmiah, tidak ada satu kelompok pun yang dapat diklaim sebagai “pribumi asli” dalam arti mutlak, karena kepulauan Indonesia telah menjadi jalur migrasi manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Manusia pertama yang mendiami wilayah ini adalah Homo erectus, yang hidup sekitar 1,5 juta tahun lalu, diikuti oleh Homo sapiens yang datang kemudian. Leluhur bangsa Indonesia berasal dari migrasi manusia modern dari daratan Asia melalui beberapa gelombang, seperti yang dilakukan oleh rumpun Austronesia sekitar 4000 tahun yang lalu. Mereka membawa bahasa, budaya, serta teknologi pertanian yang menjadi fondasi peradaban di Nusantara. Dengan demikian, seluruh penduduk Indonesia saat ini merupakan hasil perpaduan berbagai kelompok migran dari waktu ke waktu, sehingga identitas pribumi lebih merupakan konsep budaya dan sejarah yang terbentuk dari proses panjang asimilasi dan adaptasi, bukan berdasarkan ras atau asal mula tunggal.

Sejarah panjang kepulauan Indonesia menunjukkan bahwa semua penduduk yang mendiami wilayah ini pada dasarnya adalah hasil dari proses migrasi, sehingga dapat dikatakan bahwa semua orang Indonesia adalah pendatang. Bukti arkeologis dan genetika menunjukkan bahwa manusia modern (Homo sapiens) tidak berasal dari Indonesia, melainkan bermigrasi dari Afrika ribuan tahun yang lalu, kemudian menyebar ke Asia dan akhirnya mencapai kepulauan Nusantara. Gelombang migrasi besar ke wilayah Indonesia berlangsung dalam dua fase utama, yaitu migrasi Proto Melayu sekitar 2000 SM dan Deutero Melayu sekitar 500 SM, yang membawa budaya, bahasa, dan teknologi baru ke wilayah ini. Selain itu, berbagai bangsa asing seperti India, Arab, Cina, dan Eropa juga pernah datang dan menetap, memperkaya keragaman budaya dan etnis di Indonesia. Dengan demikian, identitas bangsa Indonesia terbentuk melalui perpaduan berbagai unsur budaya dari para pendatang yang telah berakulturasi selama ribuan tahun. Kesadaran akan fakta ini penting dalam membangun rasa kebersamaan dan toleransi antar kelompok etnis di Indonesia yang multikultural.

Persebaran nenek moyang bangsa Indonesia merupakan hasil dari proses migrasi manusia purba dan manusia modern yang berlangsung selama ribuan tahun. Gelombang migrasi terbesar datang dari ras Austro-Melanesoid dan Austronesia. Kelompok Austro-Melanesoid lebih dahulu mendiami wilayah timur Indonesia, seperti Papua dan Kepulauan Maluku, sekitar 60.000 tahun yang lalu. Sementara itu, nenek moyang dari ras Austronesia, yang berasal dari wilayah Taiwan dan Asia Tenggara daratan, mulai bermigrasi ke wilayah barat dan tengah Indonesia sekitar 2000–500 SM melalui jalur laut. Mereka menyebar ke berbagai pulau besar seperti Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, hingga Nusa Tenggara, membawa serta bahasa, budaya, serta teknologi pertanian dan pelayaran. Proses persebaran ini tidak hanya membentuk pola pemukiman dan struktur sosial, tetapi juga memperkaya ragam budaya, bahasa daerah, dan sistem kepercayaan di Nusantara. Interaksi antara berbagai kelompok pendatang ini melahirkan keragaman etnis yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia hingga kini.

Teori Yunan merupakan salah satu teori paling dikenal yang menjelaskan asal usul nenek moyang bangsa Indonesia. Teori ini menyatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berasal dari daerah Yunan, sebuah wilayah di Tiongkok Selatan, dan bermigrasi ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Nusantara, sekitar 2000–500 SM. Migrasi ini dilakukan melalui jalur darat dan laut secara bertahap, seiring dengan perkembangan teknologi pelayaran dan alat-alat pertanian. Kelompok yang bermigrasi ini dikenal sebagai bangsa Austronesia yang membawa serta budaya neolitikum, bahasa Austronesia, serta kearifan dalam mengelola sumber daya alam. Teori ini diperkuat oleh kesamaan bentuk kapak persegi dan kapak lonjong yang ditemukan di Indonesia dan wilayah Yunan, serta kemiripan bahasa dan kebudayaan. Selain itu, penyebaran budaya megalitikum dan tradisi bercocok tanam juga menunjukkan keterkaitan antara kedua wilayah. Meskipun bukan satu-satunya teori, Teori Yunan memberikan gambaran penting mengenai akar budaya dan penyebaran penduduk awal di Indonesia, serta menjelaskan keberagaman etnis yang terbentuk dari proses migrasi tersebut.

Masuknya Hundu Budha di Nusantara

Masuknya agama dan budaya Hindu ke Indonesia merupakan bagian penting dalam sejarah peradaban Nusantara. Para sejarawan mengemukakan beberapa teori mengenai proses masuknya Hindu ke Indonesia, yaitu Teori Brahmana, Teori Ksatria, Teori Waisya, dan Teori Arus Balik. Teori Brahmana menyatakan bahwa agama Hindu dibawa oleh para pendeta (brahmana) India atas undangan penguasa lokal yang ingin mempelajari sistem keagamaan dan pemerintahan India. Teori Ksatria menjelaskan bahwa penyebaran Hindu dilakukan oleh para prajurit India yang melarikan diri dari konflik politik dan menetap di Nusantara. Teori Waisya berpendapat bahwa para pedagang India yang datang untuk berdagang turut memperkenalkan agama dan budaya Hindu kepada masyarakat setempat melalui interaksi ekonomi dan sosial. Sementara itu, Teori Arus Balik menekankan bahwa masyarakat Indonesia sendiri yang belajar ke India, lalu kembali membawa ajaran Hindu-Buddha ke tanah airnya. Dari seluruh teori tersebut, Teori Brahmana dianggap paling kuat karena dinilai sesuai dengan sistem kepercayaan Hindu yang hanya mengizinkan brahmana untuk menyebarkan ajarannya. Proses masuknya Hindu ini berdampak besar terhadap sistem pemerintahan, kesusastraan, seni, dan struktur sosial masyarakat Indonesia, sebagaimana terlihat pada kerajaan-kerajaan Hindu awal seperti Kutai dan Tarumanegara.

Pengaruh Hindu-Buddha di Indonesia tidak hanya terbatas pada bidang keagamaan, tetapi meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dalam aspek pemerintahan, sistem kerajaan dengan konsep dewa-raja diadopsi dari ajaran Hindu, di mana raja dianggap sebagai titisan dewa yang memiliki kekuasaan mutlak. Struktur birokrasi dan sistem kasta juga mulai dikenalkan dalam kehidupan sosial. Di bidang budaya dan seni, pengaruh Hindu-Buddha tercermin dalam arsitektur candi seperti Candi Prambanan dan Borobudur, serta dalam seni ukir, seni tari, dan sastra, termasuk karya-karya epos seperti Ramayana dan Mahabharata yang diadaptasi ke dalam bentuk pewayangan. Dari segi pendidikan dan filsafat, ajaran moral dan spiritual Hindu-Buddha memperkaya pandangan hidup masyarakat, seperti konsep dharma (kebenaran) dan karma (hukum sebab-akibat). Dalam aspek hukum, beberapa kerajaan menerapkan hukum yang terinspirasi dari kitab hukum Hindu seperti Manawa Dharmasastra. Sementara itu, dalam kehidupan ekonomi, perdagangan berkembang pesat karena interaksi dagang dengan India, yang juga menjadi jalur masuknya agama-agama tersebut. Secara keseluruhan, pengaruh Hindu-Buddha telah membentuk fondasi penting bagi perkembangan peradaban awal Indonesia sebelum masuknya Islam.

Jejak sejarah Hindu di Bali merupakan warisan budaya dan spiritual yang sangat kuat dan masih hidup hingga saat ini. Hindu masuk ke Bali sekitar abad ke-1 Masehi bersamaan dengan pengaruh Hindu-Buddha yang datang dari India melalui jalur perdagangan dan penyebaran budaya. Namun, pengaruh Hindu semakin kuat ketika terjadi gelombang migrasi besar-besaran dari Jawa ke Bali pada masa runtuhnya Kerajaan Majapahit pada abad ke-15. Para bangsawan, pendeta, dan seniman yang melarikan diri dari keruntuhan Majapahit membawa serta ajaran Hindu, sistem kasta, sastra, seni, serta tradisi keagamaan ke Bali. Di pulau ini, ajaran Hindu berkembang dalam bentuk yang unik, yang dikenal sebagai Hindu Dharma Bali, yaitu perpaduan antara Hindu India dengan nilai-nilai lokal dan kepercayaan animisme Bali kuno. Jejak sejarah ini tampak jelas dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bali, seperti dalam upacara adat, sistem kasta, arsitektur pura, kesenian, serta filosofi hidup yang tertanam dalam ajaran Tri Hita Karana. Hingga kini, Bali menjadi satu-satunya daerah di Indonesia di mana agama Hindu masih dianut mayoritas penduduknya, dan menjadikan pulau ini sebagai pusat pelestarian budaya Hindu di Indonesia.

Jejak cahaya Buddha di Nusantara menunjukkan bagaimana ajaran Buddha pernah berkembang pesat dan meninggalkan warisan budaya yang mendalam dalam sejarah Indonesia. Agama Buddha mulai masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-2 Masehi melalui jalur perdagangan laut antara India dan Asia Tenggara. Ajaran ini diterima oleh masyarakat pesisir dan istana, terutama karena sifatnya yang terbuka dan damai. Puncak kejayaan Buddha di Nusantara terjadi pada masa Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-13 M), yang dikenal sebagai pusat pembelajaran agama Buddha Mahayana dan Vajrayana di Asia Tenggara. Banyak biksu dari Tiongkok, seperti I-Tsing, datang dan belajar di Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Selain Sriwijaya, Kerajaan Mataram Kuno juga menjadi pusat penting penyebaran Buddha, sebagaimana tercermin dalam pembangunan Candi Borobudur, salah satu monumen Buddha terbesar di dunia, yang merepresentasikan filosofi dan ajaran Buddha dalam bentuk arsitektur dan relief. Jejak cahaya ini tidak hanya berbentuk bangunan fisik, tetapi juga tertanam dalam sistem pendidikan, nilai etika, dan tradisi spiritual masyarakat. Meskipun pengaruh Buddha mulai menurun seiring masuknya Islam, warisannya tetap abadi dalam budaya, kesenian, dan peninggalan sejarah Nusantara.