Nusantara Era Klasik Islam
literasi
Selamat datang di laman Edutainment tema pembahasan Nusantara Era Klasik Islam.
Sumber yang digunakan merupakan buku siswa kelas X kurikulum K.13 Edisi Eevisi 2017 dan Kurikulum Merdeka. Konten dirancang agar mudah dimengerti, menampilkan penjelasan yang disederhanakan untuk membantu pembaca. Selain itu, situs web ini juga menyertakan video penjelasan yang memberikan wawasan lebih lanjut tentang sejarah Indonesia pada masa Klasik Islam.
Buku ini berisi rangkaian materi ajar sejarah kelas 10. Tema pembahasan dalam buku ini mencakup; menelusuri peradaban awal di kepulauan Indonesia; pedagang, penguasa dan pujangga pada masa klasik; Islamisasi dan silang budaya di Nusantara. Sajian materi dalam buku ini disajikan secara sistematis sesuai periode sejarah yang disajikan.
Islamisasi Nusantara
Strategi dakwah Wali Songo merupakan kunci penting dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa pada abad ke-14 hingga 16. Para Wali Songo, yaitu sembilan wali terkenal seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Giri, menyebarkan Islam dengan pendekatan yang damai, inklusif, dan kultural. Mereka tidak memaksakan ajaran Islam secara frontal, melainkan memadukannya dengan budaya lokal, adat istiadat, dan seni tradisional yang sudah akrab di masyarakat. Strategi dakwah mereka meliputi seni pertunjukan seperti wayang kulit, gamelan, tembang Jawa, serta tradisi-tradisi lokal seperti sekaten dan grebeg yang diberi nuansa Islami. Selain itu, mereka juga membangun pesantren sebagai pusat pendidikan dan pembinaan umat, serta aktif berdialog dengan para bangsawan dan tokoh masyarakat untuk memperluas pengaruh Islam. Pendekatan yang humanis dan adaptif ini membuat ajaran Islam diterima secara luas tanpa konflik besar, dan akhirnya mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Jawa. Strategi dakwah Wali Songo menjadi contoh dakwah yang kontekstual, moderat, dan menghargai kearifan lokal dalam proses transformasi keagamaan di Indonesia.
Penyebaran Islam di Tanah Jawa berlangsung secara bertahap dan damai mulai sekitar abad ke-13 Masehi, melalui berbagai jalur seperti perdagangan, pernikahan, pendidikan, dan dakwah kultural. Para pedagang Muslim dari Gujarat, Persia, dan Arab memainkan peran awal dalam mengenalkan ajaran Islam melalui aktivitas ekonomi di pelabuhan-pelabuhan penting seperti Gresik, Demak, dan Tuban. Islam kemudian berkembang pesat dengan munculnya peran penting para ulama lokal, terutama para Wali Songo, yang melakukan dakwah dengan pendekatan budaya. Mereka menyebarkan ajaran Islam melalui kesenian tradisional seperti wayang, tembang, serta upacara-upacara adat yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa yang sebelumnya memeluk Hindu-Buddha. Lembaga pesantren juga menjadi sarana penting dalam mendidik generasi Muslim dan menyebarkan pemahaman keislaman. Selain itu, dukungan dari kerajaan-kerajaan Islam seperti Kesultanan Demak turut mempercepat proses Islamisasi. Penyebaran Islam di Jawa tidak hanya mengubah struktur keagamaan, tetapi juga membentuk budaya dan tatanan sosial baru yang menjadi dasar peradaban Islam Jawa hingga kini.
Keharmonisan Islam dengan masyarakat Majapahit mencerminkan proses akulturasi dan toleransi yang berlangsung damai di tengah kebesaran kerajaan bercorak Hindu-Buddha tersebut. Meskipun Majapahit menjadikan Hindu-Siwa sebagai agama resmi, perkembangan Islam mulai terlihat sejak abad ke-14 melalui aktivitas perdagangan di pesisir utara Jawa, terutama di daerah Gresik, Tuban, dan Surabaya. Para pedagang Muslim dari Gujarat, Persia, dan Arab tidak hanya berdagang, tetapi juga menjalin hubungan sosial dan budaya dengan penduduk lokal, termasuk kalangan bangsawan. Hubungan ini menciptakan ruang bagi penyebaran Islam tanpa konflik terbuka. Bahkan beberapa bangsawan dan keluarga kerajaan Majapahit diketahui mulai menerima ajaran Islam secara terbuka atau diam-diam. Pendekatan para Wali Songo yang menyesuaikan dakwah Islam dengan nilai-nilai budaya lokal turut memperkuat keharmonisan ini. Tradisi Islam yang mengakomodasi adat Jawa, seperti dalam upacara selametan dan penggunaan tembang dakwah, menjadikan Islam mudah diterima tanpa menggantikan identitas budaya lokal. Proses ini menunjukkan bahwa Islam tidak hadir sebagai kekuatan yang menantang Majapahit, tetapi sebagai bagian dari transformasi sosial yang tumbuh secara natural di tengah masyarakat multikultural.
Wali Songo merupakan simbol penyebaran Islam yang damai dan penuh toleransi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Para wali—sembilan tokoh utama penyebar Islam seperti Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gresik—tidak hanya berdakwah tentang ajaran agama, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kearifan lokal dan toleransi dalam setiap langkahnya. Mereka memahami bahwa keberagaman budaya, adat, dan agama telah lama hidup di masyarakat Jawa, sehingga strategi dakwah yang digunakan sangat menekankan pada pendekatan kultural, edukatif, dan persuasif. Islam diperkenalkan melalui seni pertunjukan seperti wayang kulit, gamelan, tembang Jawa, serta melalui tradisi lokal seperti sekaten dan grebeg yang diberi makna Islami. Para wali tidak menggantikan budaya lama secara paksa, melainkan menyelaraskannya dengan nilai-nilai Islam, menciptakan bentuk keislaman yang inklusif dan membumi. Dengan cara inilah Islam diterima luas tanpa menimbulkan perpecahan, dan bahkan menjadi identitas budaya baru masyarakat. Wali Songo mewariskan wajah Islam yang santun, terbuka, dan menjunjung tinggi harmoni, yang relevan hingga masa kini dalam membangun kehidupan beragama yang damai di tengah masyarakat majemuk.
Untuk memahami nilai-nilai toleransi dalam proses Islamisasi nusantara, bacalah artikel pada tautan berikut: